Minggu, 23 September 2007

HAK SEWA TANAH PERTANIAN

FIA S. AJI (KANWIL BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI GORONTALO)
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan dasar filosofis terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. UUPA berdasar pada hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara (pasal 3 dan 5 UUPA).
Tanah merupakan aset Negara yang sangat penting. Sejumlah hak-hak yang berhubungan dengan tanah telah diatur dalam UUPA. Lembaga-lembaga hak atas tanah tersebut dapat dibedakan atas hak-hak atas tanah yang primer dan hak-hak atas tanah yang sekunder. Hak-hak atas tanah yang primer adalah hak-hak atas tanah yang umumnya diberikan oleh Negara, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yang termasuk didalamnya sebagaimana pengaturan dalam pasal 16 UUPA adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Kemudian hak-hak atas tanah yang sekunder adalah hak-hak yang memberi kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang lain, termasuk di dalamnya sebagaimana pengaturan dalam pasal 53 UUPA adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Hak-hak atas tanah sekunder ini merupakan lembaga-lembaga hak atas tanah yang diberi sifat sementara, artinya pada suatu waktu hak-hak tersebut sebagai lembaga hukum tidak akan ada lagi. Hak-hak tersebut diberi sifat sementara karena dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional, yang salah satu asas pentingnya adalah bahwa dalam usaha-usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan. Oleh Boedi Harsono (1999:279) dikatakan hak-hak atas tanah yang memungkinkan terjadinya pemerasan orang atau golongan satu oleh orang atau golongan lain tidak boleh ada dalam Hukum Tanah Nasional.
Bahwa pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah (pasal 10 UUPA). Dalam penjelasan pasal 10 dijelaskan bahwa mengusahakan sendiri secara aktif tidak berarti harus mengerjakannya sendiri namun bisa pula dengan menyewakannya kepada orang lain.
Hak-hak sekunder itu dipandang dapat menimbulkan keadaan penguasaan tanah yang bertentangan dengan isi pasal 10 UUPA itu, dimana dapat memungkinkan timbulnya hubungan-hubungan yang mengandung unsur pemerasan oleh yang mempunyai tanah terhadap pihak yang mengusahakan tanahnya atau sebaliknya.
Hak sewa tanah pertanian sebagai salah satu hak yang bersifat sementara dalam kenyataannya di masyarakat masih sering terjadi. Dimana dalam masyarakat ada yang dikenal dengan sewa untuk tanah sawah dan sewa untuk kebun. Yang membedakan antara kedua sewa tanah pertanian tersebut biasa dari segi pembayaran uang sewa tanahnya yaitu sewa untuk sawah dibayar depan sedangkan sewa untuk kebun dibayar belakang atau pembayaran dilakukan setelah panen, mirip dengan perjanjian bagi hasil dan dalam hukum adat dikenal dengan sewa tanah hasil pertanian.
Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya penumpukan luas pemilikan lahan pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarkat atau pihak lain yang sama sekali tidak memiliki tanah. Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang tidak diimbangi oleh penyediaan lahan pertanian yang memadai telah menjadikan sewa tanah pertanian merupakan salah satu alternatif oleh masyarakat untuk menguasai suatu lahan olahan. Hal ini terjadi karena disatu sisi ada masyarakat yang menguasasi tanah dalam jumlah tertentu namun tidak dapat mengolah atau mengusahakannya sendiri secara aktif sehingga tanah menjadi tak produktif, maka disewakanlah tanah itu kepada pihak lain.
Di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut "mengasi", di Sumatera Selatan disebut "sewa bumi", di Kalimantan disebut "cukai" di Ambon disebut "sewa ewang" dan di Bali disebut "ngupetenin". Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah "paje’". Umumnya praktek sewa menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing. Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal untuk terjadinya suatu perjanjian sewa menyewa tanah pertanian. Sifat sementara yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian dikaitkan pada prinsip tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan melalui suatu undang-undang, akan tetapi undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya. Pertanyaan sekarang adalah bagaimanakah eksistensi sifat sementara hak sewa tanah pertanian sehubungan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan tanah khususnya tanah garapan atau tanah pertanian?
Hak Sewa Tanah Pertanian menurut Hukum Adat
Menurut Van Dijk dalam Rosmalania Mappiare (1995:18) persewaan tanah dengan pembayaran sewa di muka (jual tahunan), adalah suatu bentuk perpindahan tanah dari si pemilik (yang mempersewakan) untuk waktu yang tertentu dengan pembayaran sejumlah uang tunai kepada orang lain (penyewa). Sesudah habis waktu yang tertentu itu maka tanah tersebut kembali kepada pemiliknya.
Transaksi ini memberi kepada si penyewa hak untuk mengolah tanah tersebut, menanami serta memetik hasilnya atas tanggungan sendiri dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan sebagai hak miliknya sendiri. Akan tetapi ia tidak boleh menjual atau mempersewakan selanjutnya dengan tidak seizin pemilik tanah.
R.Supomo (1993:24) menyebutkan istilah sewa tanah dengan jual tahunan yaitu suatu pengoperan hak untuk jangka waktu yang tertentu, misalnya pengoperan hak atas tanah uuntuk jangka waktu selama 2 tahun.
Menurut Bushar Muhammad (1988:119), sewa adalah suatu transaksi yang mengizinkan orang lain untuk mengerjakan tanah dengan membayar uang sewa yang tetap sesudah tiap panen atau sesudah tiap bulan atau tiap tahun.
Oleh Ter Haar (1987:105), perkataan sewa menunjukkan suatu transaksi dengan orang-orang luaran. Dibeberapa daerah di Indonesia menggunakan istilah khusus untuk sewa tanah pertanian ini. Di Tapanuli Selatan dipakai perkataan mengasi baik buat persewaan tanah (sewa),maupun hak menikmati (genotrecht) di Sumatera.
Selatan perkataan sewa (sewa bumi) yaitu bermaksud pajak yang harus dibayar oleh orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan "beschikkingsrecht", kemudian perkataan cukai di Kalimantan bermaksud baik pembayarannya orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan "beschikkingsrecht" maupun bermaksud pembayarannya orang yang menyewa tanah, di Ambon hak untuk mengumpulkan hasil hutan dalam lingkungan hak pertuanan negory disebut sewa ewang dan di Bali menyewakan tanah pertanian disebut ngupetenin. Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah "paje’". Mulanya hanya dikenal paje’ untuk tambak, kemudian dalam perkembangannya bukan hanya untuk sewa tambak namun juga untuk sewa sawah.
Imam Sudiyat (1981:39), mengatakan sewa adalah mengizinkan orang lain untuk mengerjakan atau mendiami tanah yang berada di bawah kekuasannya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah setip bulan, setiap panen atau setiap tahun, dengan konsekuensi bahwa sesudah pembayaran itu (seperti bagi hasil), transaksi tersebut dapat diakhiri. Beliau menyatakan pula bahwa istilah sewa menunjukkan suatu transaksi dengan orang lain dilingkungan hukum persekutuan sendiri.
Oleh Liliet Istiqamah (1982:42) menyatakan hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan pertanian kepada orang lain yang memberikan sejumlah uang kepada pemilik, dengan perjanjian bahwa setelah yang memberi uang itu menguasai tanahnya selama waktu yang ditentukan tanahnya akan kembali kepada pemiliknya.
Hak Sewa Tanah Pertanian menurut UUPA
UUPA memuat ketentuan pokok mengenai hak sewa yang tercantum dalam pasal 44 dan 45 UUPA namun pasal tersebut hanya mengatur hak sewa tanah untuk bangunan sedang hak sewa untuk tanah pertanian diatur dalam pasal 53 UUPA sebagai suatu hak yang bersifat sementara yang akan dihapus dalam waktu yang singkat, karena dianggap bertentangan dengan asas yang termuat dalam pasal 10 UUPA (tanah harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai) serta dianggap mengandung unsure pemerasan, ini bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa pada asasnya dalam bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan.
Pasal 53 UUPA ayat (1) menyatakan "hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur guna membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Dalam penjelasan pasal 53 UUPA disebutkan bahwa hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 jo pasal 53 UUPA) karena itu Negara tidak dapat menyewakan tanah, sebab Negara bukan pemilik tanah.
Tentang hak sewa atas tanah ini, UUPA membedakan hak sewa atas bangunan disatu pihak dan hak sewa atas tanah pertanian di lain pihak. Dasar hukum berlakunya hak sewa tanah pertanian adalah pasal 14 UUPA yang mengatur tentang penggunaan tanah secara efisien dan khususnyan untuk melaksanakan program pemerintah guna mencukupi "sandang pangan" rakyat, maka perlu diadakan perencanaan (planning) dalam pemakaian tanah-tanah pertanian.
Dengan berlakunya UUPA, sewa tanah pertanian mendapat tempat dalam produk hukum tertulis di Indonesia, meskipun hak sewa tanah pertanian dicantumkan sebagai hak yang bersifat sementara dengan memperhatikan peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.38/1960 tentang
Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman-Tanaman Tertentu dan UU No. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Mengenai hak sewa tanah pengaturannya juga dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) (KUHPerdata), tentang sewa menyewa diatur dalam pasal 1548-1600, dan khusus tentang hak sewa tanah diatur dalam pasal 1588-1600 KUHPerdata. Namun pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur soal tanah tersebut sejak mulai berlakunya UUPA harus kita anggap tidak berlaku lagi terhadap sewa menyewa tanah, dengan mengingat konsiderans dari UUPA yang dengan tegas mencabut peraturan-peraturan, antara lain Buku II KUHPerdata yakni sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Walaupun undang-undang sewa menyewa tanah belum ada, pihak yang bersangkutan dapat memberlakukan ketentuan yang termuat dalam KUHPerdata mengenai sewa menyewa tanah yang mereka adakan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, jadi dala hal kontrak masih bisa berdasar pada KUH Perdata maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengatur sendiri hubungan sewa menyewa yang mereka adakan itu asal tetap saja memperhatikan ketentuan pasal 44 ayat (3) UUPA yang melarang diadakannya syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Hak sewa tanah pertanian dinyatakan bersifat sementara sehubungan dengan pasal 10 ayat (1) UUPA yang menghendaki bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Sebab masih banyak kemungkinan orang-orang yang mempunyai hak atas tanah pertanian menyuruh orang lain uuntuk mengerjakan tanahnya, sehingga praktek-praktek pemerasan dalam hal ini bisa saja terjadi. Dalam penjelasan pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa mengusahakan sendiri bisa pula dengan cara menyewakannya kepada orang lain bila pemilik tidak bisa mengerjakan atau mengolahnya sendiri.
Praktek pemerasan dalam sewa tanah pertanian bisa saja terjadi secara tidak sengaja seperti bila petani (sebagai pemberi sewa) menyewakan tanahnya karena memerlukan sejumlah uang untuk suatu keperluan mendesak, namun setelah menyewakan tanahnya petani tersebut malah kemudian tidak memiliki tanah lagi untuk digarap karena telah disewakan kepada pihak lain. Akibatnya bisa terjadi petani tersebut kemudian bekerja sebagai buruh upahan di tanahnya sendiri yang telah disewakan pada orang lain itu.
Tendensi bahwa golongan ekonomi kuat akan tetap menguasai golongan ekonomi lemah akan selalu ada dan selama itu pula unsur-unsur pemerasan akan tetap ada. Pendistribusian tanah yang tidak merata akibat tidak tuntasnya program landreform mengakibatkan terjadinya penguasaan tanah yang sangat luas oleh satu pihak dan dipihak lain ada masyarakat yang ingin mengolah namun tidak memiliki tanah. Pemilik tanah yang luas kerap tidak dapat mengusahakan atau mengerjakan sendiri tanah pertaniannya, akibatnya tanah menjadi tidak produktif dan terlantar sehingga tak jarang kita masih menemui tanah-tanah kosong yang tak tergarap Maka alternative pemecahan yang ditempuh adalah dengan menyewakan tanah itu kepada pihak lain. Unsur pemerasan dalam sewa menyewa ini tidak akan ada bila telah tercapai kesepakatan antara para pihak, sebab pelaksanaan sewa menyewa ini disatu sisi menolong pihak pemilik tanah yang tak dapat mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif untuk tetap memproduktifkan lahannya dan juga akan memperoleh uang sewa atau hasil pertanian, kemudian bagi penyewapun akan dapat menguasai tanah atau lahan yang telah disewanya untuk digarap atau ditanami dengan tanaman jangka panjang atau jangka pendek, disesuaikan dengan jangka waktu sewa menyewa tanah pertanian yang telah disepakati.
Pembayaran sewa dalam hal sewa tanah pertanian, pembayarannya dapat berupa uang atau dalam bentuk hasil pertanian yang diperoleh setelah panen yang disetujui oleh para pihak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ter Haar (1987:106) bahwa sewa sebagai suatu perjanjian tersendiri sehingga dapat diartikan mengizinkan orang lain berada di tanah yang ia berhak atasnya supaya orang itu mengerjakan atau mendiaminya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah setiap bulan, setiap panen atau setiap tahun dan setelah setiap pembayaran persewaan berakhir atau setidak-tidaknya dapat diakhiri.
Terhadap berlakunya hukum adat setempat dalam pelaksanaan hak sewa tanah pertanian, hal ini tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan khusus mengenai penyewaan tanah. Seperti Peraturan Menteri Negara Agraria No.3/1960 tentang Uang Sewa untuk Tanaman Tebu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2/1973 tentang Penggunaan Tanah Rakyat untuk Perusahaan Gula dan Karung Goni, kemudian Permendagri No.5/1974 tentang Penyediaan Tanah dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan
Pelaksanaaan sewa menyewa tanah pertanian di daerah pedesaan umumnya terjadi atas dasar adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara penyewa dan pemberi sewa serta perjanjian sewa menyewa yang dilakukan berdasar pada hukum adat dan kebiasaan masyarakat setempat, serta dilakukan di depan kepala adat atau kepala desa, ini tentu saja berbeda dengan pengaturan formal pelaksanaan perjanjian hak sewa tanah pertanian yang harus dilakukan di depan pemerintah setempat, serendah-rendahnya camat yang juga memperkuat kesaksian tentang adanya perjanjian tersebut.
Berlakunya hukum adat ini sejalan dengan pendapat Eddy Ruchiyat (1986:62) yang mengatakan bahwa berdasar ketentuan pasal 58 UUPA maka hukum yang berlaku terhadap sewa menyewa tanah baik untuk bangunan maupun tanah untuk pertanian adalah hukum adat, sepanjang dan selama soalnya belum ada pengaturannya di dalam UUPA serta peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Pendapat lain dari J.C.Kaunang dalam Rosmalania Mappiare (1995:56) secara tersirat mengakui adanya peraturan sewa menyewa tanah yang ada sekarang telah diatur dalam Permendagri khususnya yang menyangkut sewa menyewa tanah dalam bidang perusahaan perkebunan, bahkan dapat dikatakan masalah sewa menyewa tanah pertanian diatur pula secara khusus antara Pemda Tingkat I dan II tentang besarnya sewa tanah dan penghasilan lain dan perkebunan tebu. Pandangan J.C.Kaunang ini menitikberatkan pada Permendagri, dimana dikatakan bahwa sewa tanah pertanian diberlakukan khususnya Permendagri No.5/1974 tentang Penyediaan Tanah untuk Keperluan Perusahaan dan Permendagri No.85/1976 tentang Penggunaan Tanah Milik Rakyat untuk Perusahaan Negara Persero Perkebunan untuk Tanaman Tebu dan Rosella/Corchorus, sesuai pola pertanian setempat untuk tahun 1976/1977.
Salah satu contoh, Sewa tanah pertanian yang pernah terjadi di Kabupaten Takalar antara petani/pemilik tanah di daerah Takalar dengan perusahaan gula Takalar, dimana para petani/pemilik tanah menyutujui sewa tanah pertanian mereka dengan sistem Imbalan Penggunaan Lahan yaitu petani/pemilik lahan akan memperoleh beberapa kuintal gula yang jumlahnya disesuaikan dengan luas lahan masing-masing yang disewa oleh pabrik gula Takalar, dan ini dianggap sebagai uang sewa dari penggunaan lahan tersebut.Jadi bahwa hak sewa tanah pertanian yang tercantum pada pasal 53 UUPA pelaksanaannya disesuaikan dengan Permendagri yang menyatakan pada lembaga sewa bagi setiap daerah Tingkat I dan II dan khusus berlaku bagi perusahaan gula, sedangkan sewa tanah pertanian lainnya tetap dipertahankan berlakunya hukum adat masing-masing. Masih dilaksanakannya sewa tanah pertanian ini oleh masyarakat sebaba dikaui bahwa jika dibandingkan dengan gadai yang juga merupakan salah satu hak yang bersifat sementara, maka hak sewa tanah pertanian ini tidak lagi memerlukan penebusan dan jangka waktu yang ditentukan telah berakhir tanah tersebut kembali kepada pemiliknya sedang gadai tanah memerlukan penebusan kecuali jika gadai tanah itu telah berlangsung selama 7 tahun (pasal 7 UU No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian).
Kesimpulan
Bahwa hak sewa tanah pertanian walaupun dikatakan sebagai hak yang bersifat sementara dalam artian suatu saat akan dihilangkan, namun masih diakui eksistensinya dalam masyarakat sebab dengan adanya sewa tanah pertanian ini akan menolong kedua belah pihak baik pihak penyewa maupun pihak penyewa, oleh karena itu sewa tanah pertanian tidak perlu untuk dihilangkan. Meningkatnya kebutuhan akan tanah khususnya tanah atau lahan pertanian maka sewa tanah pertanian merupakan salah satu alternative pemecahannya, terlepas dari apakah terjadi unsur pemerasan di dalam pelaksanaannya atau tidak, apalagi umumnya pelaksanaan sewa tanah pertanian yang terjadi dimasyarakat disesuaikan dengan hukum adat masing-masing.
Saran
Agar hak sewa tanah pertanian segera mendapat pengaturan secara tegas dalam hukum pertanahan khususnya dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan untuk menghilangkan sifat kesementaraannya dan guna lebih menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan hak sewa tanah pertanian.








Tidak ada komentar: